MANAJEMEN
SUMBER DAYA MANUSIA
“HUBUNGAN INDUSTRIAL”
Disusun
oleh:
Ø Ranty
Sugiarti 2013-11-061
Ø Agus
Maniar 2013-11-054
Ø Devi
Marlianty 2013-11-066
Ø Ani Rifka Zai 2013-11-096
KATA
PENGANTAR
Pada
kesempatan ini pula penulis bersyukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
segalanya dan tak terhitung jumlahnya. Ucapan terimakasih juga penulis
sampaikan kepada Ibu Ir. Rojuaniah,
MM selaku dosen manajemen SDM, yang
memberikan kepercayaan dan kesempatan kepada penulis untuk tugas makalah
tentang hubungan industrial ini.
Dalam
makalah Hubungan Industrial ini disajikan secara padat, jelas dan rinci,
sehingga mudah untuk dipelajari dan diterapkan. Meskipun penulis sudah berusaha
semaksimal mungkin untuk menulis makalah ini dengan baik, namun penulis
menyadari bahwa kesilafan dan kekurang‐cermatan
pasti terjadi. Untuk itu kritik dan saran penulis harapkan untuk penyempurnaan
makalah ini.
Semoga
makalah ini dapat diambil manfaatnya bagi kemajuan pendidikan dan pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya, khususnya yang mendalami Hubungan Idustrial dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia.
Jakarta,
05 Desember 2014
Daftar Isi
Kata Pengantar...................................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................................... ii
I. Pendahuluan
.............................................................................................................. 1
II. Ruang lingkup Hubungan Industrial
(Industrial Relations)...................................
2
III. Tujuan Hubungan Industrial.................................................................................... 4
IV. Sarana‐sarana dalam Hubungan Industrial
A. Lembaga Kerja Sama Bipartit............................................................................. 6
B. Lembaga Kerjsa Sama Tripartit...........................................................................
7
C. Organisasi Pekerja/Buruh....................................................................................
8
D. Organisasi Pengusaha..........................................................................................
9
E.
Lembaga Penyelesaian Keluh Kesah dan Hub. Industrial................................... 10
F.
Peraturan Perusahaan (PP)...................................................................................
12
G.
Perjanjian Kerja Bersama (PKB).........................................................................
14
H.
Perjanjian Kerja Khusus ..................................................................................... 15
Daftar Pustaka..................................................................................................................... 18
BAB I. PENDAHULUAN
1.
Hubungan Industrial
Hubungan Industrial (Industrial Relations) adalah
kegiatan yang mendukung terciptanya hubungan yang harmonis antara pelaku bisnis
yaitu pengusaha, karyawan dan pemerintah, sehingga tercapai ketenangan bekerja
dan kelangsungan berusaha (Industrial Peace). Pada Undang‐Undang Ketenagakerjaan
No. 13 tahun 2003 pasal 1 angka 16 Hubungan Industrial didefinisikan sebagai
“Suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi
barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan
pemerintah yang didasarkan pada nilai‐nilai
Pancasila dan Undang‐Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”Melihat pentingnya kegiatan ini,
masalah hubungan industrial perlu mendapat perhatian khusus dalam
penanganannya, karena berpengaruh besar terhadap kelangsungan proses produksi
yang terjadi di perusahaan.
Keseimbangan antara pengusaha dan pekerja merupakan
tujuan ideal yang hendak dicapai agar terjadi hubungan yang harmonis antara
pekerja dan pengusaha karena tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antara
pekerja dan pengusaha adalah hubungan yang saling membutuhkan dan saling
mengisi satu dengan yang lainnya. Pengusaha tidak akan dapat menghasilkan
produk barang atau jasa jika tidak didukung oleh pekerja, demikian pula
sebaliknya.Yang paling mendasar dalam Konsep Hubungan Industrial adalah Kemitra‐sejajaran antara
Pekerja dan Pengusaha yang keduanya mempunyai kepentingan yang sama, yaitu
bersama‐sama ingin meningkatkan
taraf hidup dan mengembangkan perusahaan.
BAB II RUANG LINGKUP
2.1
Ruang
Lingkup Cakupan
Pada dasarnya prinsip‐prinsip dalam hubungan industrial
mencakup seluruh tempat‐tempat kerja dimana para pekerja dan
pengusaha bekerjasama dalam hubungan kerja untuk mencapai tujuan usaha. Yang
dimaksud hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur upah, perintah dan pekerjaan.
2.2
Ruang
lingkup Fungsi
Fungsi Pemerintah : Menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan,
melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran
peraturan undang‐undang ketenagakerjaan yang berlaku.
Fungsi Pekerja/Serikat Pekerja : Menjalankan pekerjaan sesuai
kewajibannya, menjagaketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan
aspirasi secara demokratis, mengembangkan ketrampilan, keahlian dan ikut
memajukan perusahaan serta memperjuangkan kesejahteraan anggota dan
keluarganya.
Fungsi Pengusaha : Menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha,
memperluas lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan pekerja secara terbuka,
demokratis serta berkeadilan.
2.3
Ruang
Lingkup Masalah
Adalah seluruh permasalahan yang berkaitan baik langsung maupun
tidak langsung dengan hubungan antara pekerja, pengusaha dan pemerintah. Didalamnya
termasuk :
a. Syarat‐syarat kerja
b.
Pengupahan
c. Jam
kerja
d. Jaminan
sosial
e.
Kesehatan dan keselamatan kerja
f.
Organisasi ketenagakerjaan
g. Iklim
kerja
h. Cara
penyelesaian keluh kesah dan perselisihan.
3 RUANG LINGKIUP PERATURAN/ PERUNDANGAN
UNDANGAN KETENAGAKERJAAN
2.1 Hukum Materiil
1.
Undang‐undang ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
2.
Peraturan
Pemerintah/Peraturan Pelaksanaan yang berlaku
3.
Perjanjian Kerja Bersama
(PKB), Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja.
2.2 Hukum Formal
1. Undang‐undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
2. Perpu No.
1 Tahun 2005, dan diberlakukan mulai 14 Januari 2006
BAB III TUJUAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Tujuan Hubungan Industrial adalah
mewujudkan Hubungan Industrial yang harmonis, Dinamis, kondusif dan berkeadilan
di perusahaan. Ada tiga unsur yang mendukung tercapainya tujuan hubungan
industrial, yaitu :
·
Hak dan kewajiban terjamin
dan dilaksanakan
·
Apabila timbul perselisihan
dapat diselesaikan secara internal/bipartite
·
Mogok kerja oleh pekerja
serta penutupan perusahaan (lock out) oleh pengusaha, tidak perlu digunakan
untuk memaksakan kehendak masing‐masing, karena perselisihan yang terjadi
telah dapat diselesaikan dengan baik.
Namun demikian Sikap mental dan sosial
para pengusaha dan pekerja juga sangat berpengaruh dalam mencapai berhasilnya
tujuan hubungan industrial yang kita karapkan. Sikap mental dan sosial yang
mendukung tercapainya tujuan hubungan industrial tersebut adalah :
·
Memperlakukan pekerja
sebagai mitra, dan memperlakukan pengusaha sebagai investor
·
Bersedia saling menerima dan
meningkatkan hubungan kemitraan antara pengusaha dan pekerja secara terbuka
·
Selalu tanggap terhadap
kondisi sosial, upah, produktivitas dan kesejahteraan pekerja
·
Saling mengembangkan forum
komunikasi, musyawarah dan kekeluargaan.
BAB IV SARANA‐SARANA DALAM
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Agar tertibnya kelangsungan dan suasana
bekerja dalam hubungan industrial, maka perlu adanya peraturan‐peraturan yang mengatur hubungan kerja yang harmonis dan kondusif.
Peraturan tersebut diharapkan mempunyai fungsi untuk mempercepat pembudayaan
sikap mental dan sikap sosial Hubungan Industrial. Oleh karena itu setiap peraturan dalam
hubungan kerja tersebut harus mencerminkan dan dijiwai oleh nilai‐nilai
budaya dalam perusahaan, terutama dengan nilai‐nilai yang
terdapat dalam Hubungan Industrial.
Dengan demikian maka kehidupan dalam
hubungan industrial berjalan sesuai dengan nilai‐nilai budaya
perusahaan tersebut. Dengan adanya pengaturan mengenai hal‐hal yang harus dilaksanakan oleh pekerja dan pengusaha dalam
melaksanakan hubungan industrial, maka diharapkan terjadi hubungan yang
harmonis dan kondusif.
Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan
sarana sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 bahwa hubungan industrial
dilaksanakan melalui sarana sebagai berikut :
± Lembaga kerja sama Bipartit
± Lembaga kerja sama Triartit
± Organisasi Pekerja atau Serikat Pekerja/Buruh
± Organisasi Pengusaha
± Lembaga keluh kesah & penyelesaian perselisihan hubungan
industrial
± Peraturan Perusahaan
± Perjanjian Kerja Bersama
5.1 LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT
Adalah suatu badan ditingkat usaha atau unit produksi yang
dibentuk oleh pekerja dan pengusaha. Setiap pengusaha yang mempekerjakan 50 (limapuluh) orang
pekerja atau lebih dapat membentuk Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit dan
anggota‐anggota yang terdiri dari unsure pengusaha dan pekerja yang
ditunjuk berdasarkan kesepakatan dan keahlian. LKS Bipartit bertugas dan
berfungsi sebagai Forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah dalam memecahkan
permasalahan‐permasalahan ketenagakerjaan pada perusahaan guna kepentingan
pengusaha dan pekerja. Para manager perusahaan diharapkan ikut mendorong
berfungsinya Lembaga Kerjasama Bipartit, khususnya dalam hal mengatasi masalah
bersama, misalnya penyelesaian perselisihan industrial.
LKS
Bipartit bertujuan :
·
Terwujudnya ketenangan
kerja, disiplin dan ketenangan usaha,
·
Peningkatan kesejahteraan
Pekerja dan perkembangan serta kelangsungan hidup perusahaan.
·
Mengembangkan motivasi dan
partisipasi pekerja sebagai pengusaha di perusahaan.
Perundingan Bipartit :
Perundingan antara
pengusaha dengan pekerja untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Pengurus Bipartit menetapkan jadual acara dan waktu untuk rapat perundingan.
Penyelesaian Melalui
Bipartit :
Þ Perselisihan
hubungan industrial wajib diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat
Þ Diselesaikan
paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan
Þ Dibuat
Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak, sifatnya mengikat dan
menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak
Þ Wajib
didaftarkan oleh para pihak kepada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan
Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian bersama;
Þ Diberikan
Akta Pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Perjanjian bersama
Þ Salah
satu pihak atau pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi
kepada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan negeri di wilayah
Perjanjian Bersama didaftarkan.
Þ Permohonan
eksekusi dapat dilakukan melalui PHI di Pengadilan Negeri di wilayah domisili
pemohon untuk diteruskan ke PHI di Pengadilan Negeri yang berkompeten melakukan
eksekusi
Þ Perundingan
dianggap gagal apabila salah satu pihak menolak perundingan atau tidak tercapai
kesepakatan
Þ Salah
satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti
upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
Tugas Instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan :
·
Meneliti perselisihan hubungan
industrial, bukti upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit.
·
Mengembalikan berkas perselisihan paling
lambat dalam waktu 7 hari kerja apabila tidak dilengkapi bukti upaya
penyelesaian perundingan bipartit. Wajib menawarkan penyelesaian melalui
konsiliasi atau arbitrase.
·
Dalam waktu 7 hari para pihak tidak
menetapkan pilihan konsiliasi atau arbitrase, melipmpahkan penyelesaiannya
kepada mediator.
5.2 LEMBAGA KERJA SAMA
TRIPARTIT
Lembaga kerjasama Tripartit merupakan LKS yang anggota‐anggotanya terdiri dari unsur unsur Pemerintahan,
organisasi pekerja dan organisasi pengusaha. Fungsi lembaga kerjasama
Tripartit adalah sebagai FORUM Komunikasi, Konsultasi dengan tugas utama menyatukan
konsepsi, sikap dan rencana dalam mengahadapi masalah‐masalah ketenagakerjaan, baik berdimensi waktu saat sekarang yang telah
timbul karena faktorfaktor yang tidak diduga maupun untuk mengatasi hal‐hal yang akan datang. Dasar Hukum lembaga kerja sama Bipartit dan Tripartit adalah :
1. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2.
Kepmenaker No. Kep.255/Men/2003 tentang Lembaga Kerjasama Bipartit
3.
Kepmenaker No. Kep.355/Men/X/2009 tentang Lembaga Kerjasama Tripartit
5.3 ORGANISASI PEKERJA
Organisasi pekerja adalah suatu organisasi yang didirikan secara
sukarela dan demokratis dari, oleh dan untuk pekerja dan berbentuk Serikat Pekerja,
Gabungan serikat Pekerja, Federasi, dan Non Federasi. Kehadiran Serikat Pekerja di
perusahaan sangat penting dan strategis dalam pengembangan dan pelaksanaan Hubungan Industrial.
Dasar Hukum
Pendirian Serikat Pekerja/Serikat Buruh diatur dalam :
·
UU No. 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
·
UU No. 2 Tahun 2004 tentang
PPHI
·
Kepmenaker No. 16 Tahun 2001
tentang Tatacara Pencatatan Serikat Pekerja/Buruh
·
Kepmenaker No. 187 Tahun
2004 tentang Iuran anggota Serikat Pekerja/Buruh
Setiap
pekerja berhak untuk membentuk dan menjadi Anggota Serikat Pekerja. Serikat Pekerja
pada perusahaan berciri‐ciri sebagai berikut :
·
Dibentuk dari dan oleh
pekerja secara demokrasi melalui musyawarah para pekerja diperusahaan.
·
Bersifat mandiri, demokrasi,
bebas dan bertanggung jawab.
·
Dibentuk berdasarkan SEKTOR usaha/lapangan
kerja.
Pengusaha dilarang menghalangi pekerja untuk membentuk Serikat
Pekerja dan menjadi pengurus Serikat Pekerja dan pekerja yang menduduki jabatan
tertentu dan/atau fungsi tugasnya dapat menimbulkan pertentangan antara pengusaha dan
pekerja tidak dapat menjadi pengurus Serikat Pekerja Serikat Pekerja yang telah
terdaftar secara hukum pada Departemen Tenaga Kerja memiliki dua hal :
·
Berhak melakukan perundingan
dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
·
Berhak sebagai pihak dalam
Penyelesaian Perselisihan Industrial.
5.4 ORGANIASI PENGUSAHA
Setiap pengusaha berhak untuk membentuk dan menjadi anggota
organisasi pengusaha yaitu Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang khusus menangani
bidang ketenagakerjaan
dalam rangka pelaksanaan Hubungan Industrial. Hal tersebut tercermin dari
visinya yaitu Terciptanya iklim usaha yang baik bagi dunia usaha dan misinya
adalah Meningkatkan
hubungan industrial yang harmonis terutama ditingkat perusahaan, Merepresentasikan
dunia usaha Indonesia di lembaga ketenagakerjaan, dan Melindungi, membela dan
memberdayakan seluruh pelaku usaha khususnya anggota. Untuk menjadi anggota
APINDO Perusahaan dapat mendaftar di Dewan Pengurus Kota/Kabupaten (DPK) atau di
Dewan Pengurus Privinsi (DPP) atau di Dewan Pengurus Nasional (DPN).
Bentuk
pelayanan APINDO adalah sebagai berikut :
1)
Pembelaan
a.
Bantuan hukum baik bersifat
konsultatif, pendampingan, legal opinion maupun legal action di tingkat
perusahaan dalam proses :
·
Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI)
·
Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK)
·
Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3)
·
Perlindungan Lingkungan
(Environmental).
b.
Pendampingan dalam
penyusunan, pembuatan dan perpanjangan Peraturan Perusahaan (PP) atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
c.
Perundingan Pengusaha dengan
Wakil Pekerja/Buruh maupun dengan Pemerintah.
2)
Perlindungan
a.
Apindo pro‐aktif dan turut serta dalam pembahasan pembuatan kebijakan dan
peraturan ketenagakerjaan di tingkat daerah maupun nasional.
b.
Sosialisasi peraturan‐peraturan ketenagakerjaan tingkat nasional, propinsi dan kabupaten
c.
Pro‐aktif dalam pembahasan penetapan upah minimum propinsi dan
kabupaten
d.
Ikut serta mendorong
penciptaan iklim hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan
bagi dunia usaha melalui forum LKS Bipartit maupun LKS Tripartit
3)
Pemberdayaan
a.
Penyediaan informasi
ketenagakerjaan yang selalu terbarukan dan relevan
b.
Pelatihan/seminar masalah
ketenagakerjaan di dalam dan di luar negeri
c.
Konsultasi ketenagakerjaan
mulai dari rekruitmen, tata laksana sampai pasca kerja, termasuk keselamatan
dan kesehatan kerja (K3) dan perlindungan Lingkungan.
Landasan
hukum APINDO adalah sebagai berikut :
I.
KADIN (Kamar Dagang
Indonesia) menyerahkan sepenuhnya urusan ketenagakerjaan kepada APINDO, karena
hubungan industrial adalah salah satu dimensi manajemen usaha
II.
Berdasarkan Kesepakatan
kedua belah pihak yang diperkuat oleh SK Menakertranskop No. 2224/MEN/1975
Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional terdiri dari :
·
Unsur Pemerintah diwakili
Depnakertranskop
·
Unsur Pengusaha diwakili
APINDO
·
Unsur Buruh diwakili FBSI
III.
Pengakreditasian APINDO
sebagai Wakil KADIN Indonesia dalam Kelembagaan Hubungan Indutrial dengan
Keputusan Dewan Pengurus KADIN Indonesia No. 037/SKEP/DP/VII/2002 tanggal 31
Juli 2002
IV.
Pembaruan pengakreditasian
APINDO sebagai Wakil KADIN Indonesia dalam Kelembagaan Hubungan Industrial
dengan Keputusan Dewan Pengurus KADIN Indonesia No. 019/SKEP/DP/III/2004
tanggal 5 Maret 2004
5.4 LEMBAGA
PENYELESAIAN KELUH KESAH DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Dalam perjalanan Hubungan Industrial untuk mencapai suatu
masyarakat industri yang diharapkan, benturan‐benturan
antara para pelaku yang timbul sebagai akibat belum serasinya pemakaian ukuran
dan kacamata untuk menilai permasalahan bersama kadang‐kadang tidak dapat dihindari. Keluh kesah bisa juga terjadi akibat
berbagai pertanyaan yang timbul baik dari pekerja ataupun dari pengusaha yang
berkaitan dengan penafsiran atau pelaksanaan peraturan perundang‐undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
Dapat juga karena berbagai tuntutan dari salah satu pihak terhadap
pihak lain yang melanggar peraturan perundang‐undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja besama. Dengan
demikian untuk menghindari benturan‐benturan tersebut perlu dikembangkan suatu
mekanisme penyelesaian keluh kesah sehingga benih‐benih
perselisihan tingkat pertama seharusnya diselesaikan diantara pelaku itu
sendiri.
Mekanisme penyelesaian keluh kesah merupakan sarana yang
seharusnya diadakan setiap perusahaan. Mekanisme ini harus transparan dan
merupakan bagian dari Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP) atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Dalam pelaksanaan fungsi‐fungsi supervisi dari setiap para manajer merupakan kunci
terlaksananya mekanisme ini. Dalam hal perselisihan tersebut tidak dapat
diselesaikan dalam lembaga mekanisme penyelesaian keluh kesah ini. Penyelesaian
dapat dilaksanakan lebih lanjut sesuai dengan Peraturan perundangundangan yang
berlaku.
1. PENYELESAIAN KELUH KESAH
a.
Penyelesaian keluh kesah
yang timbul di perusahaan didasarkan pada prinsip musyawarah untuk mufakat
secara kekeluargaan antara pekerja dengan atasannya tanpa campur tangan pihak
lain.
b.
Apabila seorang pekerja
mempunyai keluh kesah tentang segala sesuatu mengenai hubungan kerja, pertama‐tama pekerja tersebut menyampaikan keluh kesahnya pada atasannya
langsung untuk dimintakan penyelesaian.
c.
Apabila atasan langsung yang
bersangkutan tidak menyelesaikannya atau pekerja tidak puas atas
penyelesaiannya, pekerja mengajukan masalahnya kepada atasan yang lebih tinggi.
d.
Apabila atasan yang lebih
tinggi tidak bisa menyelesaikannya atau pekerja tidak puas atau penyelesainnya
maka pekerja dapat minta bantuan pengurus serikat pekerja untuk mewakili atau
mendampingi pekerja untuk penyelesainnya lebih lanjut.
2. PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Perselisihan
Hubungan Industrial terjadi akibat perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena
adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh
dalam suatu perusahaan.
Perselisihan
Hubungan Industrial timbul karena :
a.
Tidak dilaksanakannya hak
pekerja
b.
Kesadaran pekerja akan perbaikan kesejahteraan
c.
Kurangnya komunikasi antara pekerja dengan
pengusaha
Penyelesaian
Hubungan Industrial dapat dilakukan sebagai berikut :
a.
Penyelesaian diluar
Pengadilan Hubungan Industrial
¾
Bipartit (wajib Pasal 4 ayat
(2) UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(PPHI)
¾
Mediasi, Konsiliasi, Arbiter
(wajib Pasal 83, UU No.2 Tahun 2004)
b.
Pengadilan Hubungan
Industrial
¾
Hukum Acara Perdata Pasal
57, UU No. 2 tahun 2004
5.5 PERATURAN
PERUSAHAAN
Peraturan
Perusahaan adalah suatu peraturan yang dibuat secara tertulis yang memuat
ketentuanketentuan tentang syarat‐syarat kerja serta tata tertib
perusahaan.
1.
Ketentuan Khusus
Beberapa
ketentuan yang perlu diperhatikan dalam pembuatan Peraturan Perusahaan
adalah :
1.
Wajib dibuat oleh pengusaha yang
mempekerjakan 25 orang karyawan atau lebih.
2.
Dalam pembuatannya pengusaha
mengadakan konsultasi lebih dahulu dengan pekerja/pegawai Depnaker setempat
3.
Perusahaan yang telah
mempunyai Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tidak dapat menggantikannya dengan
Peraturan Perusahaan.
4.
Peraturan Perusahaan sebelum
diterapkan (berlaku) setelah mendapat pengesahan/kesaksian dari Departemen
Tenaga Kerja cq. Dirjen Binawas untuk Peraturan Perusahaan yang berlaku di
seluruh wilayah RI, dan Kadinas/Kasudinas Tenaga Kerja setempat untuk yang
berlaku di wilayah tersebut. Tujuh hari setelah pengesahan Peraturan Perusahaan
harus di sosialisasikan kepada seluruh karyawan.
5.
Peraturan Perusahaan berlaku
paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang kembali. Masing‐masing Peratutan Perusahaan secara periodik perlu diadakan
perubahan dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada. Setiap perubahan
ini sebelum dilaksanakan harus mendapat pengesahan/kesaksian dari
Depnaker/Disnaker atau pejabat yang ditunjuk.
2. Dasar
Hukum
Dasar Hukum
pembuatan Peraturan Perusahaan ini adalah :
1.
Undang‐undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 115
2.
Kepmenaker No. Kep.
48/Men/IV/2004 tentang Tatacara Pembuatan dan Pengesahan
3.
Peraturan Perusahaan (PP)
serta Pembuatan dan Pendaftaran PKB.
Pada umumnya
penyusunan Peraturan Perusahaan sudah merupakan suatu hal yang standar, dimana
beberapa ketentuan yang ada dalam perundang‐undangan ketenagakerjaan dimasukkan kedalam
Peraturan Perusahaan, baru kemudian ditambahkan dengan hal‐hal umum dan spesifik yang diperlukan perusahaan tersebut.
3. Kerangka Peraturan
Perusahaan
Sistimatika atau
kerangka yang ideal Peraturan Perusahaan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Kata Pengantar
2. Daftar Isi
3. Mukadimah
4. Umum
5. Aturan Perusahaan
(Bab II)
6. Jam Kerja, Peraturan
Kerda dan Disiplin Kerja (Bab III)
7. Pembebasan kewajiban
dari bekerja (Bab IV)
8. Penggajian (Bab V)
9. Perjalanan Dinas
(Bab VI)
10. Jaminan Kesehatan
9bab VII)
11. Pengembangan dan
Pelatihan (Bab VIII)
12. Penghargaan (Bab
IX)
13. Kegiatan/aktivitas
(Bab X)
14. Penyelesaian Keluh
Kesah (Bab XI)
15. Penutup (XII)
4. Ketentuan Umum
Hal‐hal umum yang perlu
diperhatikan :
1.
Bila masa berlaku Peraturan Perusahaan
belum berakhir kemudian terbentuk Serikat Pekerja, dan Serikan Pekerja meminta
diadakan perundingan untuk pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), maka
perusahaan wajib melayani kehendak Serikat Pekerja untuk merundingkan
pembuartan Perjanjian Kerja Bersama.
2.
Bilamana Serikat Pekerja 3 bulan sebelum
Peraturan Perusahaan berakhir tidak mengajukan secara tertulis untuk
perundingan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama, maka perusahaan wajib
mengajukan Peraturan Perusahaan yang lama/yang tidak diperbaharui untuk
disyahkan atau diperpanjang.
3.
Ketentuan yang ada dalam Peraturan Perusahaan
tetap berlaku sampai dengan ditandatangani Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan
atau sampai dengan disyahkan permohonan diperpanjang Peraturan Perusahaan.
4.
Pelanggaran‐pelanggaran yang
dilakukan terhadap Peraturan Perusahaan ini, sanksi yang diberikan berupa administratif,
bukan pidana
5.5 PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB)
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang disusun oleh
pengusaha dan serikat yang telah terdaftar yang dilaksanakan secara musyawarah untuk mencapai
mufakat.
1.
Dasar Hukum
Dasar Hukum pembuatan PKB ini didasarkan kepada :
·
Undang‐Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 115 yang
mengatur tentang pembuatan dan pendaftaran Peraturan Perusahaan (PP) dan
Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
·
Kepmenaker No. Kep.
48/Men/IV/2004 tentang tatacara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan
(PP) serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
2.
Ketentuan Khusus
Ketentuan khusus dalam penyusunan PKB beberapa ketentuan harus
diperhatikan :
·
Dirundingkan oleh pengusaha
dan Serikat Pekerja yang telah terdaftar.
·
Didukung oleh SEBAGIAN BESAR
pekerja di perusahaan tersebut.
·
Masa berlaku 2 tahun dan
dapat diperpanjang.
·
Setiap perpanjangan PKB
harus disetujuai secara TERTULIS oleh pengusaha dan Serikat Pekerja serta diajukan
90 hari sebelum masa PKB berakhir.
·
Dibuat dengn Surat Resmi
sekurang‐kurangnya rangkap 3 (satu bundel diserahkan ke Depnaker untuk
didaftarkan).
·
PKB yang telah disepakati
dibubuhi tanggan dan ditandatangani oleh pengurus yang oleh anggota dasar diperbolehkan,
jika diwakilkan harus ada surat kuasa,
·
Ketentuan PKB tidak boleh
bertentangan dengan perundang‐undangan yang berlaku.
5.6 PERJANJIAN
KERJA KHUSUS (PKK)
Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu
mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain atau majikan, selama waktu
tertentu sesuai perjanjian. Dasar Hukumnya adalah :
1. Undang‐undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, pasal 59 tentang PKWT
2. Kepmenaker No. Kep. 100/Men/VI/2004 tentang ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
PKK
dirumuskan sebagai berikut :
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Hal tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
PKWT adalah
Perjanjian Kerja antara pekerja dengan pengusaha, untuk mengadakan hubungan
kerja dalam waktu tertentu dan atau pekerjaan tertentu.
Ketentuan
Umum PKWT :
Þ Dibuat secara tertulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia
Þ Didalamnya tidak boleh mempersyaratkan adanya masa percobaan, bila
dicantumkan masa percobaan, maka masa percobaan tersebut batal demi hukum
Þ Dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut sifat, jenis, atau
kegiatannya akan selesai dalam waktu tertentu..
Þ Nilai isi PKWT tidak boleh lebih rendah dari syarat‐syarat kerja yang dimuat dalam Peraturan Perusahaan yang
bersangkutan, jika lebih rendah yang berlaku adalah apa yang termuat dalam
Peraturan Perusahaan.
Þ Dibuat rangkap 3 (pengusaha, pekerja, pemerintah/Depnaker) dan
seluruh biaya yang timbul karena pembuatan ini menjadi tanggung jawab
pengusaha.
Ketentuan
Khusus PKWT :
Þ Dibuat atas kemauan bebas kedua belah pihak.
Þ Para pihak mampu dan cakap menurut Hukum untuk melakukan
perikatan.
Þ Adanya pekerjaan tertentu.
Þ Yang disepakati tidak dilarang oleh undang‐undang atau tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan
kesusilaan.
PKWT yang
tidak memenuhi item 1,2, ketentuan khusus diatas dapat dibatalkan, sedangkan
yang
bertentangan dengan 3 dan 4 adalah batal demi hukum.
Dalam pembuatan PKWT,
konsepnya terlebih dahulu harus diajukan ke kantor Depnaker setempat untuk disetujui. Dalam PKWT
tersebut harus memuat :
1.
Nama dan alamat pengusaha/perusahaan.
2.
Nama, alamat, umur dan jenis kelamin
pekerja.
3.
Jabatan/jenis macam pekerjaan.
4.
Besarnya upah dan cara pembayarannya.
5.
Syarat‐syarat kerja yang memuat hak dan
keajiban pengusaha dan pekerja.
6.
Jangka waktu berlakunya perjanjian
kerja.
7.
Tempat atau lokasi kerja.
8.
Tempat, tanggal perjanjian kerja dibuat,
tanggal mulai berlakunya dan berakhir serta ditandatangani oleh kedua belah
pihak.
9.
Hal‐hal
yang dapat mengakhiri PKWT sebelum masa berlakunya habis.
Jangka
waktu PKWT dapat diadakan paling lama 2 tahun, dan dapat diperpanjang 1 kali dengan ketentuan jumlah seluruh tidak
boleh lebih dari 3 tahun. Perubahan PKWT hanya dapat
dilakukan 30 hari setelah berakhirnya PKWT yang lama. Sedangkan PKWT yang ingin di perpanjang
tanpa mengalami perubahan dapat dilakukan selambat‐lambatnya 7 hari sebelum Perjanjian Kerja berakhir.
Perubahan dan perpanjangan ini berlakunya tidaK boleh melebihi
masa maksimum berlangsung hubungan kerja PKWT.
PKWT berakhir
disebabkan oleh :
1. Berakhirnya waktu
perjanjian kerja.
2. Berakhir dengan
selesainya pekerjaan yang diperjanjikan.
3. Berakhir karena
pekerja meninggal dunia.
PKWT tidak berakhir
jika pengusaha meninggal dunia, ahli waris atau pengurus perusahaan yang lain
dapat melanjutkannya, kecuali dalam PKWT diperjanjikan lain. Para pihak yang mengakhiri
perjanjian secara sepihak tanpa alasan yang dapat dipertanggungkan secara hukum
diwajibkan membayar ganti rugi sebesar sisa upah masa berlakunya PKWT.
2. Perjanjian Kerja
Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Pada prinsipnya secara
umum sama dengan PKWT. Dalam PKWTT, Perjanjian Kerja dapat berlangsung
selamanya sampai dengan pekerjaan yang diperjanjikan tersebut tidak ada lagi, atau
pekerjanya pensiun. Begitu pula dengan ketentuan‐ketentuan lainnya hampir sama.
Para Pihak bebas
mengakhiri perjanjian, namum bila yang mengakhiri pengusaha tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, maka pengusaha wajib membayar
pesangon, uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak jasa dan penggantian
hak, sebagaimana diatur Undang‐undang
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
DAFTAR PUSTAKA
1. Arthur
Young, 1991, Pedoman Kerja Manajer, Jakarta, PPM.
2. Astra Human Resources Management, 2001,
Jakarta, PT Astra International, Tbk.
3. Djumadi,
Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, 1995, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
4. Farid
Mu’azd, 2006, Pengadilan Hubungan Industrial, Jakarta, Ind‐Hill‐Co.
5. Herb
Cohen, Negosiasi, 1986, Jakarta, Pantja Simpati.
6. Jimmy
Joses Sembiring, Smart HRD, 2010, Jakarta, Visimedia.
7. Robert L. Mathis & John H. Jackson, 2001,
Manajemen SDM, Jakarta, Salemba Empat.
8. Susilo
Martoyo, Manajemen Sumber Daya Manusia, 1987, Yogyakarta, BPFE.
9. Sutarto
Wijono, Psikologi Industri & Organisasi, 2010, Jakarata, Kencana Prenada
Media Group.
10. Yunus
Shamad, Hubungan Industrial di Indonesia, 1995, Jakarta, Bina Sumber Daya
Manusia.